Selasa, 15 Juni 2010

Hari Kebangkitan Nasional dan wajah Pendidikan Indonesia (Opini)

Hari Kebangkitan Nasional dan wajah Pendidikan Indonesia
Oleh: Faisol*

Bagi masyarakat Indonesia, tanggal 20 Mei merupakan hari yang sangat bersejarah. Mengapa? Karena konon menurut sejarahnya pada tanggal 20 Mei 1908 berdiri suatu organisasi yang bernama Boedi Oetomo. Hari inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Tokoh-tokoh pemrakarsanya adalah: Dr. Soetomo, Dr. Wahidin, Soerjadi Soerjaningrat dan lain-lain.
Organisasi Boedi Uetomo adalah sebagai salah satu wadah bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda dengan strategi perjuangan yang beda dari sebelumnya. Kalau perjuangan untuk meraih kemerdekaan pada sebelum-sebelumnya adalah dengan gencatan fisik, maka organisasi ini lebih pada intelektual. Ini memang lebih efektif.

Dalam artikel ini, penulis tidak akan terlalu detail dalam mengulas tentang sejarah Boedi Oetomo tersebut. Karena memang fokus tulisan ini lebih pada pemaknaan HARKITNAS dalam konteks dunia pendidikan di Indonesia. Namun, secara singkat dapat dikatakan, bahwa Boedi Oetomo-lah yang menjadi tonggak perjuangan yang terus berlanjut dengan munculnya beberapa organisasi lain, seperti: Jong Ambon (1909), Sarikat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Jong Java dan Jong Celebes (1917), Jong Sumatra dan Jong Minahasa (1918)., Nahdlatul Ulama (1926) dan Partai Nasional Indonesia (1027).
Nah, bagaimana jika kita kaitkan antara makna kebangkitan nasional dengan dunia pendidikan saat ini? Sudah baik atau masih (maaf) buruk? Untuk menjawab ini, penulis tidak ingin melihatnya dari perspektif pribadi. Tapi, marilah kita lihat fenomena pendidikan yang ada. Selanjutnya, terserah Anda mau memberikan jawaban apa. Baik, buruk? Terserah.
Berdasarkan laporan dari International Institute of Management Development pada tahun 2000 yang menyebutkan: dari 48 negara yang diukur, daya saing SDM Indonesia menempati urutan ke-47, sementara Thailand 34, Filipina 32, Malaysia 27, Singapura 2. Ironinya, sampai saat ini belum terjawab, bagaimana pemerintah menangani persoalan-persoalan pendidikan negeri ini? Masih banyak anak yang putus sekolah atau malah belum terjangkau sama sekali oleh pelayanan pendidikan. Wajib belajar 9 tahun secara kuantitatif pun sulit bisa dituntaskan.
Dunia pendidikan tinggi juga terpuruk. Yunsirno, dalam bukunya, “Keajaiban Belajar”, menulis bahwa: “Lembaga pemeringkat perguruan tinggi prestisius, Times Higher Education QS Word Uneversity Ranking (The Qs World) mengumumkan rangking 500 universitas terbaik di dunia untuk tahun 2009. Dalam rangking tersebut, UI masih menduduki rangking 201 dunia. Untuk wilayah Asia, UI berada di rangking 34. Sedangkan untuk tingkat Asean, masih berada di rangking 5, di bawah Universitas Nasional Singapura (30), Universitas Teknologi Nanyang (73), Universitas Chulalongkorn, Thailand (138) dan Universitas Malaysia (180)”.
Dewasa ini banyak sekali keluhan-keluhan yang muncul di dunia pendidikan kita. Tidak bisa terakomodirnya aspirasi intelektual masyarakat yang sudah semakin kritis. Akan dibawa ke manakah wajah pendidikan kita?: Sebuah pertanyaan yang sangat mendesak untuk dijawab. Belum lagi ditambah dengan masalah yang ada pada SDM kita. Perlukah adanya up-grading? Fenomena yang sama sekali tidak bisa kita remehkan. Karena nasib bangsa ini menjadi taruhannya. Sampai kapan kita akan diam saja dengan situasi yang akan membawa kita kepada keterpurukan?
Secara kualitas, out put atau lulusan lembaga pendidikan (sekolah/kampus) juga masih belum bisa membawa perubahan yang nyata dalam masyarakat. Justeru sebaliknya, banyak yang tidak beretika.
Pendidikan kita sedang gencar-gencarnya membicarakan tentang pendidikan berbasis karakter (character building). Tapi, pertanyaan yang muncul setelah itu adalah bagaimana dengan indikator dan tata nilai penerapannya? Pihak mana saja yang sanggup memulainya? Sama dengan anekdot: Suatu hari rakyat tikus mengadakan ‘musyawarah besar’. Dalam rapat tersebut berembuk, mencari solus:i bagaimana agar mereka tidak dimakan oleh kucing? Hingga akhirnya ditemukanlah ide yang brilian, yaitu: sang kucing harus diberi kalung lonceng. Fungsinya adalah supaya rakyat tikus bisa mengetahui datangnya sang kucing melalui bunyi lonceng. Tapi timbul lagi pertanyaan dan permasalahan baru, yaitu: siapa yang berani memasang kalung tersebut pada leher sang kucing? Bukankah tindakan itu sama saja dengan mencari mati? Persis dengan ide tentang pendidikan berbasis pembentukan karakter. Idenya bagus, brilian. Tapi, siapa yang berani mewujudkannya? Bukankah dulu dunia pendidikan ini telah gagal dalam yang namanya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Bahkan, bukan hanya gagal, tapi banyak lembaga pendidikan yang belum sempat memulai dan menerapkannya. Penyebabnya sangat banyak, termasuklah tenaga pengajar yang tidak profesional, fasilitas yang tidak memadai, atau karena sudah terlebih dahulu adanya isu penerapan kurikulum baru: Berbasis Teknologi Informasi, misalnya. Aneh ya, padahal kurikulum yang satu belum diterapkan, sudah mau mencoba lagi yang lain. Berganti kepemimpinan, lain lagi kebijakannya. Tidak bisa konsisten. Bahkan, sekarang lembaga/departemen yang menaungi pendidikan di Indonesia semakin spesifik. Kalau dulu disebut dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sekarang cuma Departemen Pendidikan saja. Seharusnya pemerintah bisa lebih fokus dan terarah dengan perincian tugas tersebut, bukan malah dijadikan kesempatan untuk semakin memperluas ladang proyek.
Itulah gambaran umum tentang wajah pendidikan di Indonesia: amburadul. Namun, sungguh tidak bijak jika kita hanya puas menerima keadaan yang tidak baik itu. Kita harus punya usaha untuk memperbaikinya. Bukankah ciri seorang pelajar adalah tidak mau menerima dengan status quo dan siap menciptkan perbaikan.
Nah, dalam artikel ini, penulis yang juga masih sebagai pelajar, ingin memberikan tawaran solusi untuk pendidikan negeri ini. Sebenarnya, salah satu yang membuat kualitas pendidikan di Indonesia kurang baik adalah paradigma yang salah tentang pendidikan itu sendiri. Pendidikan dianggap hanya di lembaga-lembaga formal, seperti sekolah dan kampus. Pendidikan hanya dinilai sebagai sesuatu yang berorientasi pada prestasi akademis. Tugas mendidik diserahkan sepenuhnya kepada pengajar (guru atau dosen). Itulah mendset yang kurang benar tentang pendidikan. Sehingga tidak heran jika banyak pelajar yang tidak bisa belajar secara mandiri, tidak merasakan kesenangan dalam menjalani mitode belajar kelas yang kaku. Bahkan, banyak pelajar yang pintar, tapi etikanya kurang benar.
Dalam bahasa Inggris, pendidikan disebut education, yang kemudian setelah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi edukasi. Dari sinilah, timbul istilah televisi edukasi. Dalam Islam, pendidikan dikenal dengan istilah tarbiyah. Sehingga istilah tarbiyah menjelma dalam salah satu fakultas atau jurusan yang berada dalam berbagai perguruan tinggi agama di dunia.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan tarbiyah dalam Islam? Ya, dalam tulisan ini, penulis akan menjelaskan tentang beberapa makna tarbiyah dalam Islam, yang dengan ini sekaligus ingin meluruskan paradigma pendidikan yang sudah mulai melenceng dari khittahnya.
Dalam ilmu gramatika (sharf), kata tarbiyah berasal dari kata “rabba-yurabbi-tarbiyatan”. Kalau diselisir (dii’lal) secara jeli lagi, maka dasar katanya adalah “rabaa-yarbuu-riban wa rabwah" yang berarti " tumbuh, berkembang, dan subur".
Mari kita bahas satu persatu!
Pertama, Tarbiyah Berarti Tumbuh.
Maksudnya adalah pendidikan semestinya ditumbuhkan atau dimulai sejak dini. Di sinilah fungsi orang tua dengan rumah sebagai ‘sekolah’nya. Memang seharusnya seperti inilah pendidikan yang ideal: pendidkian dimulai semenjak dini. Materi yang disampaikan adalah lebih dominan tentang etika dan nilai-nilai agama. Hal ini sangat efektif, karena orang tua sangat paham tentang karakter anak-anaknya, sehingga bisa menerapkan mitode pendidikan yang tidak telalu kaku, layaknya yang diterapkan di pendidikan formal. Bukankah para psikolog sepakat bahwa masa antara 1–6 tahun usia anak adalah merupakan masa paling menentukan kepribadiannya. Maka, tanamakanlah yang baik-baik pada masa tersebut. Pendidikan pada tahap ini biasanya dikenal dengan masa pengenalan terhadap Tuhan (wudhu’, shalat, belajar Qur’an, dll, tapi dengan mitode yang disesuaikan tentunya). Karena memang Tuhan yang dalam bahasa Arab disebut Rabb adalah mempunyai dasar kata yang sama dengan pendidikan atau tarbiyah, yaitu: rabba. Maka, sebenarnya pendidikan pada tahap dini adalah fase perubwahan atau penumbuhan nilai-nilai yang mencintai Rabb atau Tuhan. Hal ini juga dapat kita lihat pada doa yang sering kita baca, yaitu: allahumma ighfirli wa liwalidayya wa irhamhuma kama rabbayani sghaghiran. (Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan sayangilah mereka sebagaimana mereka merawat/mendidikku–dengan nilai-nilai ke-Tuhanan–sewaktu aku kecil).
Kedua, Tarbiyah Berarti Berkembang.
Berkembang yang dimaksud adalah pendidikan yang merupakan pengembangan dari pendidikan agama yang sebelumnya sudah ada. Juga ditambah dengan pendidikan umum yang berfungsi sebagai penunjang. Anak yang pantas mendapatkan pendidikan ini adalah pada sekitar usia sekitar 6–7 tahun atau usia SD. Dan, terus berlanjut hingga masa remaja. Pendidikan yang bersifat pengembangan ini adalah pendidikan yang didapatkan dalam lembaga pendidikan formal.
Ketiga, Tarbiyah Berarti Subur.
Maksudnya adalah pemantapan atau pematangan ilmu yang sudah tumbuh (pada usia dini) dan berkembang (pada masa pendidikan formal). Pendidikan semacam ini bisa diraih dengan masuk dalam lembaga penddiikan nonformal, baik keagamaan, seperti pesantren, maupun keterampilan, seprti kursus. Pendidikan nonformal juga sangat penting. Karena tidak semua ilmu bisa didapatkan di lembaga pendidikan formal, seperti di sekolah dan kampus. Selain itu, penddiikan nonformal waktunya fleksibel, tidak sekaku penddiikan formal. Kelebihan lain dari penddiikan nonformal adalah mitodenya yang tidak terikat pada kurikulum yang justru kadang mengekang kreativitas.
Inilah tiga tawaran solusi untuk dunia pendidikan Indonseia. Semoga bermanfaat. Semoga dengan semakin baiknya dunia pendidikan, juga membawa perubahan yang yang berarti bagi kebangkitan Indonesia. Selamat Hari Kebangkitan Nasional!

*Penulis: Mahasiswa Jurusan Dakwah, Prodi Kominikasi Penyiaran Islam STAIN Pontianak, Semestewr IV
Staf Bidang Pengembangan Bakat dan Minat (PEBAMI) HMJ Dakwah STAIN Pontianak
Mobile: 085245000606


(Tulisan ini dapa juara ke-3 dalam Lomba Artikel Ilmiah yang dilaksanakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAIN Pontianak dalam rangkaian acara Gebyar Kelurga Besar Mahasiswa (KBM) STAIN Pontianak tahun 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar