Jumat, 02 April 2010

Tafsir QS. Ali Imran ayat 64

Tafsir QS. Ali Imran ayat 64
Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka): "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
(QS. Ali Imran: 64)

M. Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah, menulis, bahwa selesai Nabi Muhammad saw. menghadapi Kristen Najran, tetapi mereka enggan beriman. Ahl a-l-Kitab bukan hanya mereka. Ahl al-Kitab terdiri dari semua orang Yahudi dan Nashrani, bahkan sementara ulama memasukkan kelompok yang diduga memiliki kitab suci dalam pengertiannya. Ahl al-Kitab sekalipun yang bertempat tinggal di Madinah atau daerah-daerah lain, namun pesan ini ditujukan kepada mereka semua, bahkan sampai akhir zaman.
Sedemikian besar kesungguhan dan keinginan Nabi Muhammad saw. agar orang-orang Nashrani menerima ajaran Islam, sehingga Allah swt. memerintahkan beliau untuk mengajak mereka dan semua pihak dari Ahl al-Kitab agar menerima satu tawaran yang sangat adil, tetapi kali ini dengan cara yang lebih simpatik dan halus dibandingkan dengan cara yang lalu. Ajakan ini tidak memberi sedikit pun kesan berlebihan bagi beliau dan umat Islam. Beliau diperintahkan oleh Allah swt. untuk mengajak dengan panggilan Ahl al-Kitab----demikan panggilan mesra----yang mengakui bahwa mereka pun dianugerahi kitab suci oleh Allah, tanpa menyinggung perubahan-perubahan yang mereka lakukan.
Masih dari ulasan M. Quraish Shihab. Dia mengatakan bahwa ajakan kepada Ahl al-Kitab dalam ayat tersebut, merupakan ajakan kepada sesuatu yang sangat mulia, kepada suatu ketinggian. Karena lafadz ta’alau dipahami sebagai kata yang berasal dari lafadz ‘ala, yang artinya tinggi.
Sedangkan mengenai lafadz kalimatin sawain bainana wa bainakaum, Al-Thabathaba’i dalam tafsirnya, ali-Mizan mengatakan bahwa memang baik Al-Qur’an, Taurat maupun Injil sepakat (sama) dalam dakwahnya untuk mengajak pada kalimat (ketetapan/pegangan) yang sama, yaitu tauhid. Demikian juga komentar Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tarsirnya, al-Marghi, lebih kurang sama dengan pernyataan dalam al-Mizan itu. Ahmad Musthafa al-Maraghi menulis sebagai berikut: bahwa kalimatin sawain adalah suatu maqalah yang adil, tiada perselisihan yang telah disepakati oleh para rasul dan kitab-kitab yang diturunkan kerpada mereka. Maka, sungguh Taurat, Injil dan Al-Qur’an memerintahkan untuk bertauhid.
Kemudian, bertauhid atau mengesakan Allah ada dua macam, yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah. Tauhid uluhiyyah dapat dilihat dalam ‘an la na’buda illallaha wa nusyrika bihi syaian’ (bahwa kita tidak akan menyembah kecuali kepada Allah dan kita tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun).
Tauhid uluhiyyah adalah mengesakan Allah dalam status Allah sebagai Ilah. Definisi Ilah adalah Tuhan yang disembah dan sebagai tempat satu-satunya untuk bergantung. Demikianlah lebih kurang penjelasan tentang Ilah baik dalam Tafsir al-Mizan maupun Tafsir al-Manar. Jadi, mengesakan Allah dalam status-Nya sebagai Ilah adalah dengan menyembah-Nya, menjadikan-Nya sebagai satu-satunya tempat bergantung dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesutau apapun. Itulah yang dimaksud dengan tauhid uluhiyyah.
Selanjutnya, adalah tentang tauhid rububiyyah. Definisi dari Rabb adalah Sayyid (Tuan) Yang Maha Mengatur, yang ditaati perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya, serta yang mempunyai hak untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Seperti inilah kurang lebih yang tertulis dalam al-Misbah, al-Maraghi, al-Mizan maupun dalam al-Manar. Inilah yang dinamakan dengan tauhid rububiyyah yang terdapat dalam kalimat ‘wa la yattakhidza ba’dhuna ba’dhan arbaban min dunillah’ (dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah).
Dalam konteks Ahl al-Kitab, ayat tentang tauhid, khususnya tauhid rububiyyah sangatlah penting. Karena pada saat itu Ahl al-Kitab baik Yahudi maupun Nashrani menjadikan pemimpin-pemimpin agama mereka sebagai seseorang yang mempunyai kuasa untuk menetapkan hukum halal dan haram, sehingga salah satu ciri khas dari Ahl al-Kitab adalah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Maka, secara ringgkas, ditegaskan dalam al-Mizan bahwa ‘la ilaha illalahu, la rabba illallahu, wa la hukma illa ‘alallahi (tiada tuhan selain Allah, tiada rabb selain Allah dan tiada berhukum selain kepada (hukum) Allah).
Sedangkan maksud dari ‘fa in tawallau fa qulusyhadu bi anna muslimun’ adalah, jika mereka berpaling dari dakwah tauhid ini dan mereka menolak untuk menyembah kepada Allah, justeru sebaliknya mereka mengambil sekutu-sekutu selain Allah yang mereka sebut sebagai perantara dan mereka menjadikan tuhan-tuhan selain Allah yang bisa menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, maka katakanlah (persakskanlah) kepada mereka, “Kami adalah orang Islam yang berserah diri kepada Allah, kami akan tetap menyembah-Nya dengan ikhlas beragama kepada-Nya, tidak kepada selain-Nya, kami tidak akan menghadap pada yang lain dengan tujuan mengharapkan mendapat manfaat ataupun menolak bahaya dan kami tidak akan mengalalkan sesuatu kecuali yang telah dihalalkan-Nya, serta kami tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang telah diharamkan-Nya”. Demikian yang tertulis dalam al-Maraghi dan al-Manar.
Sedangkan al-Thabthaba’i menulis sebagai berikut: lafadz ‘fa quusyhadu bi anna muslumun’, adalah sebagai persaksian terhadap Ahl al-Kitab bahwa Nabi Muhammad saw. berserta pengikutnya berada dalam agama yang dirihai, yakni Islam. Sesuai firman Allah


Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah adalah Islam
(QS. Ali Imran:19)

Maka, dengan demikian terputuslah permusuhan terhadap kaum muslmin, Karena tidak ada alasan (untuk menentang) perkara hak dan orang yang mengikuti perakara hak itu. Demikianlah yang tertulis dalam al-Mizan.
Sedangkan M. Qurais Shihab menulis lebih luas, yakni bahwa pernyataan ini juga dapat bermakna kalau kalian berpaling dan menolak ajakan ini, maka saksikan dan akuilah bahwa kami adalah orang-orang muslim yang akan melaksanakan teguh apa yang kami percayai. Pengakuan kalian akan eksistensi kami sebagai muslim, walau kepercayaan kita berbeda m,eneuntut kalian untuk membiarkan kami melaksanakan tuntunan agama kami. Karena kami pun sejak dini telah mengakui eksisitensi kalian tanpa kami peracaya apa yang kalian percaya, namun demikian kami mempersilahkan kalian melaksanakan agama dan kepercayaan kalian, lakum dinukum wa liya din/bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku.


Daftar Pustaka
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid 1, Dar Fikr
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, CV. Doa Abu : 2006
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 2Jakarta, Lenetra Hati
Sayyid Muhammad Husain Al-Thabathaba’i, Tafsir Al-Mizan, Jilid 3, Bairut, 1991
---------------------------------------------------------------------------------------------- Tafsir Al-Manar, --------- -------- ------- ----------

1 komentar:

  1. Semoga Allah memberkati amal mu menulis article yang baik ini. Yang berkat itu membawa kepada keridhaan Allah. Dengan ridhaNya itu membawa kpd hidayahnya.

    BalasHapus