Sabtu, 03 April 2010

Tafsir QS. adz-Dzariyyat ayat 56

Tafsir QS. adz-Dzariyyat ayat 56

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku
(QS adz-Dzariyat; 56)
Tafsir
1. Menurut Quraish Shihab
Menrut Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam tasirnya, Al-Misbah, penafsiar an ayat di atas adalah sebagai berikut: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali pada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas meraka adalah beribadah kepada-Ku.

Ayat di atas menggunakan bentuk persona pertama (Aku), karena memang penekannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah swt.
Didahulukannya penyebutan () al-jinn/jin dari kata () al-ins/manusia karena memang jin lebih dahlu diciptakan daripada manusia.
Huruf () lam pada kata () liya’budun bukan berarti agar supaya mereka beribadah. Huruf lam di sini sama dengan huruf lam pada firman-Nya:

Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.(QS. al-Qashas: 8)

Bila huruf lam dalam lafadz “fal-taqathahu alu fir’auna li yakuna ‘aduwwan wa hazana” mermpunyai arti agar supaya, maka ayat di atas berarti maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga Fir'aun agar ia menjadi musuh dan kesedihan bagi merka.
Memang tidak mungkin lam itu berarti agar supaya, karena tentu Fir’aun tidak akan mengambil dan memlihara musuhnya sendiri. Tapi, tujuan Fir’aun ketika menyetujui usul istrinya waktu itu agar mengambil musa adalah agar menjadi penyejuk mata mereka., serta untuk memanfaatkannya dan menjadikannya sebagai anak (angkat). Tetapi kuasa Allah menjadikan musuh memelihara musuhnya sendiri. Huruf lam pada ( ) li yakuna pada surat al-Qashas tersebut, demikian juga pada kata () li ya’budun pada ayat di atas dinamai oleh pakar-pakar bahasa sebagai lam al-‘aqibah, yakni yang berarti kesudahan atau dampak dan akibat sesuatu.
Ibadah bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa sesorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memilki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya. Begitulah kurang lebih pendapat Muhammad ‘Abduh. Ibadah terdiri dari ibadah murni (mahdhah) dan ibadah tidak murni (ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah, bentuk, kadar, atau waktunya, seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Ibadah ghairu mahdhah segala aktivitas lahir dan batin manusia yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Nah, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menghendaki agar segala aktivitas manusia dilakukan demi dan karena Allah, yakni sesuai dan sejalan dengan tuntunan dan petunjuk-Nya.
2. Menurut Thabathaba’i
Thabathaba’i dalam tasirnya, Al-Mizan memahami huruf lam pada ayat yang ditafsirkan ini dalam arti agar supaya, yakni tujuan penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah. Ulama ini menulis bahwa tujuan---apapun bentuknya----adalah sesuatu yang digunakan oleh yang bertujuan itu untuk menyempurnakan apa yang belum sempurna baginya atau menanggulangi kebutuhan/kekurangannya. Karena suatu perbuatan yang tidak memilki tujuan adalah sesuatu yang sia-sia. Dengan demikian harus dipahami bahwa ada tujuan bagi Allah swt. dalam perbuatan-Nya, tetapi dalam diri-Nya, bukan di luar dari dzat-Nya. Ada tujuan yang bertujuan kepada perbuatan itu sendiri, yakni kesempurnaan perbuatan. Ibadah adalah tujuan dari penciptaan manusia dan kesempurnaan yang kembali kepada penciptaan itu. Allah swt. menciptakan manusia untuk memberinya ganjaran; yang memperoleh ganjaran itu adalah manusia, sedang Allah sama sekali tidak membutuhkannya. Adapun tujuan Allah, maka itu bberkaitan dengan dzat-Nya Yang Maha Tinggi. Dia menciptakan manusia dan jin karena Dia adalah Dzat Yang Maha Kuasa.
Atau, yang dimaksud dengan menciptakan mereka adalah untuk beribadah, adalah menciptakan mereka memilki potensi untuk beribadah, yakni menganugerahkam mereka kebebasan memilih, akal dan kemampuan.
Thabathaba’i juga menjelaskan bahwa ibadah yang dimaksud itu adalah kehadiran di hadapan Allah Rabbul ‘Alamin dengan kerendahan diri dan penghambaan kepada-Nya, serta kebutuhan sepenuhnya kepada Tuhan Pemilik Kemuliaan mutlak, dan kekayaan murni sebagaimana----boleh jadi--- dipahami dari firman-Nya:
Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): "Tuhanku tidak mengindahkan kamu, tanpa ibadah kamu (QS. al-Furqan: 77)
Hakikat ibadah adalah menempatkan diri seseorang dalam kedudukan kerendahan dan ketundukan serta mengarahkannya ke maqam Tuhannya.
3. Menurut Sayyid Quthub
Sayyid Quthub juga mengomentari ayat di atas. Ayat ini menurutnya membuka sekian banyak sisi dan aneka sudut dari makna dan tujuan. Sisi pertama bahwa pada hakikatnya ada tujuan tertentu dari wujud manusia dan jin, ia merupakan satu tugas. Siapa yang melaksanakannya, maka ia telah mewujudkan tujuan wujudnya, dan siapa yang mengabaikannya maka dia telah membatalkan hakikat wujudnya dan menjadilah dia seseorang yang tidak memilki tugas (pekerjaan), hidupnya kosong, tidak bertujuan dan berakhir dengan kehampaan. Tugas tersebut adalah ibadah kepada Allah, yakni penghambaan diri kepada-Nya. Ini berarti di sini ada hamaba dan di sana ada ada Allah. Beliau juga menjelaskan bahwa dari pengertian di atas menonjol sisi yang lain dari hakikat yang besar dan agung itu, yakni bahwa pengertian ibadah bukan hanya pada pelaksanaan tuntunan ritual, karena jin dan manusia tidak menghabiskan waktu mereka dalam pelaksanaan ibadah ritual. Memang kita tidak mengetahui secara persis apa saja batas aktiuvitas yang dibebankan kepada jin. Tapi kita dapat mengetahui batas-batas yang diwajibkan kepada manusia., yaitu yang dijelaskan di dalam Al-Quran bahwa manusia sebagia khalifah di bumi. Ini menuntut aneka ragam aktivitas penting guna memamkmurkan bumi, sambil mewujudkan apa yang dikehendaki Allah dalam penggunaan, pengembangan dan peningkatannya. Dengan demikian ibadah yang dimaksud di sini lebih luas jangkauan maknanya daripada ibadah dalam bentuk ritual. Tugas kekhalifahan juga termasuk ke dalam makna ibadah dan dengan demikian hakikat ibadah mencakup dua hal pokok.
Pertama, kemantapan makna penghambaan kepada Allah dalam hati stiap insan.
Kedua, mengarah kepada Allah dalam setiap gerak pada nurani, pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam hidup. Semuanya hanya mengarah kepada Allah secara tulus.
Dengan demikan, terlaksanalah makna ibadah. Dan menjadilah setiap amal bagaikan ibadah ritual, dan setiap ibadah ritual serupa dengan memakmurkan bumi. Memakmurkan bumi serupa dengan jalan jihad di jalan Allah, dan jihad seperti kesabaran menhadapi setiap kesulitan dan ridha menerima ketetapan-Nya. Semua itu adalah ibadah, semuanya adalah pelaksanaan tugas pertama dari penciptaan Allah tehadap jin dan manusia dan semua merupakan ketundukan kepada ketetapan yang berlaku umum, yakni ketundukan segala sesuatu kepada Allah bukan kepada selain-Nya. Demikianlah penjelasan panjang lebar dari Sayyid Quthub menyamgkut ayat di atas.
4. Menurut Ahmad Mushtafa al-Maraghi
Sedangkan komentar Ahmad Mushtafa al-Maraghi dalam tasirnya, Al-maraghi adalah sebagai berikut, Setelah Allah menyebutkan bahwa orang-orang musyrik itu berada dalam perkataan yang berbeda-beda dan tidak tetap, sebagiannya tidak cocok dengan sebagian yang lain. Yakni ketika mereka mengatakan: Pencipta langit dan bumi adalah Allah, tiba-tiba mereka menyembah patung-patung dan berhala. Kadang-kadang mereka mengatakan Muhammad adalah tukang sihir tetapi pada saat lain mengatakan pula dia adalah juru ramal dan lain-lain. Kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan bahwa kaum nabi Muhammad saw. bukanlah umat yang pertama mendustakan. Sebagaiman kaum Quraisy itu mendustai nabi-Nya, demikain pula umat-umat sebelumnya telah mendustakan para rasul mereka. Maka, Allah menimpakan kepada mereka bencana seperti kaum Nuh, ‘Ad dan Tsamud.
Selanjutnya Allah swt. menyatakan keheranannya terhadap ihwal orang-orang musyrik itu, seraya mengatakan: apakah sebagian mereka berwasiat kepada sebagian yang lainnya akan perbuatan seperti itu. Namun, kemudian Dia memfirmankan; tidak. Bahkan mereka adalah kaum yang durhaka lagi melampaui batas Allah. Mereka tidak mematuhi perintah dan tidak menghentikan diri dari larangan-Nya.
Kemudian Allah swt. menyuruh rasuyl-Nya agar berpaling dari berdebat dan bertengkar dengan mereka. karena beliau telah benar-benar telah menyampaikan apa yang telah diperintahkan kepadanya dan tidak melalaikannya. Maka, beliau tidaklah tercela atas kedustaan mereka itu. Dan agar beliau tetap memberi peringatan kepada orang yang peringatan itu akan bermanfaat bagi baginya, sedang orang itu mempunyai kesiapan untuk menerima petunjuk dan bimbingan. Selanjutnya Allah melanjutkan dengan menyebutkan bahwa Dia tidaklah menciptakan jin dan manusia keculai untuk diperintahkan dan diberi beban beribadah kepada-nya, bukan karena Dia memerlukan kepada mereka dalam memperoleh suatu rizki mapun mendatangkan makanan. Karena Allah yang memberi rizki lagi mempunyai kekuatan.
Ahmad Mushtafa al-Maraghi, kemudian melanjutkan tafsirannya sebagi berikut “Aku tidak menciptakan mereka (jin dan Manusia) kecuali supaya kenal kepada-Ku. Karena sekiranya Aku tidak menciptakan mereka niscaya mereka tak akan kenal keberadaan-Ku dan keesaan-Ku”. Penafsiran semacam ini ditunjukkan oleh apa yang dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi “Kuntu kanzan makhfiyyan fa aradtu an u’rafa, fa khalqtul khalqa fa bi ‘arifuni”. Aku adalah simpanan yang tersembunyi. Lalu Aku menghendaki supaya Aku dikenal. Maka Aku-pun menciptakan makhluk. Maka oleh karena Aku-lah mereka mengenal Aku.
Demikian kata Mujahid. Dan begitu pula diriwayatkan dari Mujahid, bahwa ayat ini adalah: Kecuali supaya Aku memerintahkan mereka dan melarang mereka. Tafsiran semacam ini ditunjukkan oleh firman-Nya:
…….. padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
(QS. At-Taubah: 31)
Dan tafsiran semacam ini dipilih oleh Az-Zajjaj.
Sementara itu, segolongan mufassir berpendapat bahwa arti ayat ini adalah: kecuali supaya mereka tunduk kepada-Ku dan merendahkan diri. Yakni, bahwa setiap makhluk dari jin dan manusia tunduk kepada keputusan Allah, patuh kepada petunjuk-Nya dan menuruti apa yang telah Dia takdirkan atasnya. Alllah menciptakan mereka menurut apa yang Dia kehendaki, dan Allah memberi rizki kepada mereka menurut keputusan-Nya, tidak seorang pun di antara mereka yang dapat memberi manfaat maupun mudharat kepada dirinya sendiri.

Kesimpulan
Sangat beragam sekali penafsiran terhadap QS. Adz-Dzariyyat ayat 56 ini. Namun secara umum titik tekannya adalah bahwa jin dan manusia diciptakan bukanlah sebuah hal yang sia-sia bagi Allah swt.. mereka diciptkan sehingga dengan perbekalan dan kelebihan yang dilebihkan dibandingkan dengan hewan, manusia dan jin tersebut dapat menjadikan setiap aktivutasnya semata-mata diniatkan sebagai ibadah kepada Allah swt.

Daftar Pustaka
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid 9, Dar Fikr
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, CV. Doa Abu : 2006
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 11 Jakarta, Lenetra Hati
Sayyid Muhammad Hayyun Al-Thabathaba’i, Tafsir Al-Mizan, Jilid 18, Bairut, 1991

Tidak ada komentar:

Posting Komentar