Menyikapi Krisis Multidimensi
(Oleh Faisol)*
Krisis Multidimensi. Zona dan momen-momen kritis inilah yang sedang kita jalani dan kita rasakan akhir-akhir ini. Betapa tidak? Coba kita perhatikan secara jeli situasi dan kondisi negara kita. Coba kita cermati pradigma dan sikap tokoh-tokoh publik figur kita. Coba kita hayati konflik-konflik agama, sosial, ekonomi dan kemanusiaan yang sedang melanda bangsa tercinta ini! Sungguh cukup darastis dan fenomenal bukan?
Tentunya tidak bisa kita ingkari penyalahgunaan tugas dan wewenang yang terjadi di berbagai ranah birokrasi di negara ini, ataupun pro dan kontra akan kebijakan yang diambil pemerintah. Semuanya seolah-olah menjadi indikasi jelas bahwa betapa multikompleks dan seriusnya problema yang dihadapi bangsa Indonesia.
Syaikh Muhammad ibn Abubakar
pernah menulis: “Pada akhir zaman akan ada suatu kaum atau golongan yang berwajah manusia, tapi berhati (seperti) setan. Perumpamaan mereka sama dengan serigala yang buas: tidak ada sedikit pun rasa kasihan dalam hatinya, selalu menumpahkan darah” (Kitab Mawa’idz al-‘Ushfuriyyah)
Marilah bersama-sama kita hayati pernyataan tersebut dan marilah bersama-sama pula kita renungkan kondisi bangsa kita ini. Kita sering membaca di media cetak ataupun menyaksikan di televisi-telvisi kasus-kasus pembunuhan. Ada yang motifnya bisnis plus cinta segi tiga. Ada juga pembunuhan dengan modus takut terbongkarnya rahasia home industry yang sedang dirintisnya. Belum lagi berbagai problematika yang lain: stabilitas sosial yang tak terkendali, demokrasi politik yang lepas kontrol, carut-marut ekonomi yang sedang dihadapi, ataupun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang kian merosot. Semua itu ujung-ujungnya mengarah pada aksi demonstrasi, anarkisme dan tindakan-tindakan yang tak berperikemanusiaan, serta menelan banyak korban. Mereka ‘membawa-bawa’ nama agama, ‘sok menjunjung tinggi’ nilai kebangsaan. Tapi, tidakkah tersadari atau memang disengaja bahwa tindakan tersebut menyimpang dari norma-norma agama, serta bertolak belakang dengan nilai kebangsaan. Bukankah perdamaian adalah misi spesial dari suatu agama, dan bukankah perikemanusiaan adalah ciri khas dari falsafah bangsa Indonesia??
Mungkinkah zaman yang termaksud telah tiba? Yaitu: di mana pembunuhan dijadikan jalan pintas untuk menutup borok, kekerasan dijadikan satu-satunya alternatif, serta saling menghina dalam kubu suatu ‘organisasi’ dianggap sebagai sesuatu yang sportif.
Selain rentetan-rentetan masalah tersebut, masih banyak sekali deretan masalah yang menimpa bangsa ini. Mulai dari gosip yang dijadikan tradisi bahkan bernilai komersial, harta anak yatim yang dijadikan makanan pokok, lembaga pendidikan yang dijadikan ajang bisnis oleh para pencinta dunia, tempat-tempat ibadah yang hanya sebatas dijadikan sebagai tempat berpariwisata, bahkan sampai pada persoalan tokoh-tokoh ulama dan umara’ yang satu sama lain saling iri, dengki dan memfitnah.
Aneh sekali, ironi dan sangat disayangkan. Karena mereka yang saling gontok-gontokan dan berseteru, saling mengklaim pihak paling benar, bukanlah orang-orang yang bodoh, bukanlah orang-orang yang tak berpendidikan. Tapi, mereka adalah, orang yang secara formalitas merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi, dan secara legalitasnya pun mereka adalah publik-publik figur yang semestinya jadi panutan masyarakat.
Tentunya, kita tidak boleh hanya diam terpaku, pasif, dengan hanya puas dan pasrah menerima serta menelan kenyataan pahit dan kecut ini. Tanpa adanya usaha untuk merubah dan memperbaiki keadaan. Semestinya deretan masalah bangsa ini, menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi kita semua.
Kita harus tetap merindukan dan berusaha mewujudkannya. Merindukan sebuah Indonesia yang sangat kental dan erat ukhwah Islamiyah dan ukhwah basyariyahnya. Sebuah negara yang sejahtera, aman serta mendapat ampunan dari Allah Swt . (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Walau memang untuk mewujudkan cita-cita besar ini bukanlah sesuatu yang mudah, kita harus tetap optimis. Man jadda wajada (barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkannya).
Sebagai tawaran solusi yang hendak saya ajukan dalam tulisan ini adalah, bagaimana kita bisa menjauhi tiga pemicu utama ketidakstabilan suatu bangsa, yakni: rafats (pornografi dan pornoaksi), fusuq (kriminal, korupsi, dan pelanggaran hukum lainnya), serta jidal (perdebatan kusir yang tidak produktif). Dengan menghindari tiga hal tersebut, mudah-mudahan kestabilan akan kembali ada.
Pertama, Rafats
Rafats adalah sesuatu yang mengandung atau mengarah pada unsur keji (porno). DSebenarnya, arti dfasar kata rafats adalah ‘sentuh’. Sentuh itu ada tiga macam. Pertama, sentuh dengan lidah. Maksudnya, mengeluarkan perkataan-perkataan seks-seperti yang sering muncul di kalangan remaja ataupun di infotaiment-infotaiment-yang tidak baik didengar oleh orang lain. Kedua, sentuh tangan. Sentuhan tersebut tidak patut dilihat oleh orang lain. Yang mana hal ini juga sudah sangat menggurita di Indonesia.
Kebebasan dunia perfilman yang lepas kontrol, seolah-olah dengan ‘merdeka’nya bisa menyuguhkan karya-krya film yang keji-seperti film horor- yang sangat berbahaya, jika sampai hal itu ‘menghipnotis’ para penonton untuk menirunya. Ketiga, sentuh badan, yaitu percampuran yang sudah dimaklumi. Mudahnya mengakses melalui canggihnya teknologi-seperti HP, VCD dan Internet- juga memberikan kontribusi akan penyebaran hal-hal yang rafats atau keji itu.
Kedua, Fusuq
Fusuq berarti menyeleweng dari kebenaran agama, menyimpang dari garis. Dalam konteks hukum, fasiq bisa diartikan sebagai sesorang yang keluar dari aturan atau perundang-undangan atau hukum yang berlaku dengan cara membuat hukum sendiri berdasarkan keinginannya atau mencarai celah-celah untuk membenarkan tindakannya atau bebas dari sanksi.
Ketiga, Jidal
Jidal adalah perdebatan dalam hal-hal yang tidak berguna. Dan termasuk dalam perdebatan yang dilarang adalah semua perdebatan yang menyebabkan kegaduhan, mudharat kepada orang lain atau mengurangi ketentraman. Atau, bahwa yang dimaksudkan perdebatan yang dilarang adalah perdebatan yang menyerukan kebatilan dan mengaburkan kebenaran. Sedangkan perdebatan dengan cara yang baik untuk menjelaskan kebenaran sebagai kebenaran, dan kebatilan sebagai kebatilan adalah perdebatan yang dibenarkan dalam syari'at Islam dan tidak termasuk perdebatan yang dilarang. Mari kita resapi sabda Rasulullah saw: Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras penantangnya lagi lihai bersilat lidah’.” (HR Bukhari-Hadis no. 2457)
Marilah kita berusaha untuk menjauhi tiga hal-rafats,fusuq, jidal-pemicu ketidakstabilan bangsa. Selanjutnya, kita juga berusaha mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk menjauhinya, baik dengan usaha yang refresif maupun yang pereventif.
Satukan hati, bulatkan tekad. Kita bangkit bersama, tak ada rasa angkuh antara kita. Bersama kita benahi dan bangun bangsa serta agama. Kita berbuat untuk Indonesia. Kita bisa jika bersama. Karena, kalau bukan kita, siapa lagi?
*Penulis, Mahasiswa Jurusan Dakwah, Prodi Komunikasi Penyiaran Islam STAIN Pontianak
Alumni Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Al-Khaliliyah-Sungai Ambawang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar